DEFINISI MATEMATIKA

Edward Lee Thorndike ialah seorang fungsionalis. Thorndike (1874-1949) mendapat gelar sarjananya dari Wesleyan University di Connecticut pada tahun 1895, dan master dari Hardvard pada tahun 1897. Ketika di sana, Thorndike mengikuti kelasnya Williyams James dan mereka pun menjadi akrab. Thorndike menerima beasiswa di Colombia, dan dapat menyelesaikan gelar PhD-nya tahun 1898. Kemudian dia tinggal dan mengajar di Colombiaa sampai pensiun tahun 1940. Thorndike berhasil menerbitkan suatu buku yang berjudul “Animal intelligence, An experimental study of associationprocess in Animal”. Buku tersebut merupakan hasil penelitian Thorndike terhadap tingkah beberapa jenis hewan seperti kucing, anjing, dan burung yang mencerminkan prinsip dasar dari proses belajar yang dianut oleh Thorndike yaitu bahwa dasar dari belajar (learning) tidak lain sebenarnya adalah asosiasi. 
Teori yang dikemukakan Thorndike dikenal dengan teori stimulus-respon (S-R). Dalam teori S-R dikatakan bahwa dalam proses belajar, pertama kali organisme (hewan, orang) belajar dengan cara coba salah (trial end error). Apabila suatu organisme berada dalam suatu situasi yang mengandung masalah, maka organisme itu akan mengeluarkan tingkah laku yang serentak dari kumpulan tingkah laku yang ada padanya untuk memecahkan masalah itu. Berdasarkan pengalaman itulah, msaka pada saat menghadapi masalah yang serupa, organisme sudah tahu tingkah laku mana yang harus dikeluarkannya untuk memecahkan masalah. Ia mengasosiasikan suatu masalah tertentu dengan suatu tingkah laku tertentu. Sebagai contoh seekor kucing yang dimasukkan dalam kandang yang terkunci akan bergerak, berjalan, meloncat, mencakar, dan sebagainya sampai suatu ketika secara kebetulan ia menginjak suatu pedal dalam kandang itu sehingga kandang itu terbuka dan kucing pun bisa keluar. Sejak saat itulah, kucing akan langsung menginjak pedal kalau ia dimasukkan dalam kandang yang sama.
1.      Definisi Belajar Menurut Thorndike
Menurut Thorndike (Budiningsih, 2005: 21) belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan respon. Stimulus yaitu apa saja yang dapat merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran, perasaan atau hal-hal lain yang dapat ditangkap melalui alat indera. Sedangkan respon yaitu reaksi yang dimunculkan peserta didik ketika belajar, yang juga dapat berupa pikiran, perasaan, atau gerakan/tindakan. Thorndike dalam teori belajarnya mengungkapkan bahwasanya setiap tingkah laku makhluk hidup itu merupakan hubungan antara stimulus dan respon, adapun teori Thorndike ini disebut teori konesionisme. Belajar adalah pembentukan hubungan stimulus dan respon sebanyak-banyaknya. Dengan artian dengan adanya stimulus itu maka diharapkan timbul respon yang maksimal. Teori ini sering juga disebut dengan teori trial dan error  dalam teori ini orang yang bisa menguasai hubungan stimulus dan respon sebanyak-banyaknya maka dapat dikatakan orang ini merupakan orang yang berhasil dalam belajar. Adapun cara untuk membentuk hubungan stimulus dan respon ini dilakukan dengan ulangan-ulangan.
Dalam teori trial dan error ini, berlaku bagi semua organisme dan apabila organisme ini dihadapkan dengan keadaan atau situasi yang baru maka secara otomatis organisme ini memberikan respon atau tindakan-tindakan yang bersifat coba-coba atau bisa juga berdasarkan naluri karena pada dasarnya disetiap stimulus itu pasti ditemui respon. Apabila dalam tindakan-tindakan yang dilakukan itu menimbulkan perbuatan atau tindakan yang cocok atau memuaskan maka tindakan ini akan disimpan dalam benak seseorang atau organisme lainnya karena dirasa diantara tindakan-tindakan yang paling cocok adalah tindakan itu, selama yang telah dilakukan dalam menanggapi stimulus adalah situasi baru. Jadi dalam teori ini pengulangan-pengulangan respon atau tindakan dalam menanggapi stimulus atau stimulus baru itu sangat penting sehingga seseorang atau organisme mampu menemukan tindakan yang tepat dan dilakukan secara terus-menerus agar lebih tajam dan tidak terjadi kemunduran dalam tindakan atau respon terhadap stimulus.
Dalam membuktikan teorinya Thorndike melakukan percobaan terhadap seekor kucing yang lapar dan kucing itu ditaruh di kandang, yang mana kandang tersebut terdapat celah-celah yang kecil sehingga seekor kucing itu bisa melihat makanan yang berada di luar kandang dan kandang itu bisa terbuka dengan sendiri apabila seekor kucing tadi menyentuh salah satu jeruji yang terdapat dalam kandang tersebut. Mula-mula kucing tersebut mengitari kandang beberapa kali sampai ia menemukan jeruji yang bisa membuka pintu kandang, kucing ini melakukan respon atau tindakan dengan cara coba-coba, ia tidak mengetahui jalan keluar dari kandang tersebut, kucing tadi melakukan respon yang sebanyak-banyaknya sehingga menemukan tindakan yang cocok dalam situasi baru atau stimulus yang ada. Thorndike melakukan percobaan ini berkali-kali pada kucing yang sama dan situasi yang sama pula. Memang pertama kali kucing tersebut dalam menemukan jalan keluar memerlukan waktu yang lama dan pastinya mengitari kandang dengan jumlah yang banyak pula, akan tetapi karena sifat dari setiap organisme itu selalu memegang tindakan yang cocok dalam menghadapi situasi atau stimulus yang ada, maka kucing tadi dalam menemukan jeruji yang menyebabkan kucing tadi bisa keluar dari kandang, ia pegang tindakan ini sehingga kucing ini dapat keluar untuk mendapatkan makanan dan tidak perlu lagi mengitari kandang karena tindakan ini dirasa tidak cocok. Akan tetapi kucing tadi langsung memegang jeruji yang menyebabkannya bisa keluar untuk makan.
2.      Ciri-ciri Belajar Menurut Thorndike
Adapun beberapa ciri-ciri belajar menurut Thorndike (Kartika, 2013: 6), antara lain:
a.       Ada motif pendorong aktivitas.
b.      Ada berbagai respon terhadap sesuatu.
c.       Ada eliminasi respon-respon yang gagal atau salah.
d.      Ada kemajuan reksi-reaksi mencapai tujuan dari penelitiannya itu.
3.      Hukum-hukum yang Digunakan Edward Lee Thorndike
Thorndike menyatakan bahwa belajar pada hewan maupun manusia berlangsung berdasarkan tiga macam hukum pokok belajar, yaitu :
a.      Hukum Kesiapan (Law of Readiness)
Dalam belajar seseorang harus dalam keadaan siap dalam artian seseorang yang belajar harus dalam keadaan yang baik dan siap, jadi seseorang yang hendak belajar agar dalam belajarnya menuai keberhasilan maka seseorang dituntut untuk memiliki kesiapan, baik fisik maupun psikis. Siap fisik seperti seseorang tidak dalam keadaan sakit, yang mana  bisa mengganggu kualitas konsentrasi. Adapun contoh dari siap psikis adalah seperti seseorang yang jiwanya tidak lagi terganggu, seperti sakit jiwa dan lain-lain. Disamping seseorang harus siap fisik dan psikis seseorang juga harus siap dalam kematangan dalam penguasaan pengetahuan serta kecalapan-kecakapan yang mendasarinya.
Menurut Thorndike (Ayuni, 2011: 9) ada tiga keadaan yang menunjukkan berlakunya hukum ini, yaitu :
a.       Bila pada organisme adanya kesiapan untuk bertindak atau berprilaku, dan bila organisme itu dapat melakukan kesiapan tersebut, maka organisme akan mengalami kepuasan.
b.      Bila pada organisme ada kesiapan organisme untuk bertindak atau berperilaku, dan organisme tersebut tidak dapat melaksanakan kesiapan tersebut, maka organisme akan mengalami kekecewaan.
c.       Bila pada organisme tidak ada persiapan untuk bertindak dan organisme itu dipaksa untuk melakukannya maka hal tersebut akan menimbulkan keadaan yang tidak memuaskan.
Di samping hukum-hukum belajar seperti yang telah dikemukakan di atas, konsep penting dari teori belajar koneksionisme Thorndike adalah yang dinamakan transfer of training. Konsep ini menjelaskan bahwa apa yang pernah dipelajari oleh anak sekarang harus dapat digunakan untuk hal lain di masa yang akan datang. Dalam konteks pembelajaran konsep transfer of training merupakan hal yang sangat penting, sebab seandainya konsep ini tidak ada, maka apa yang akan dipelajari tidak akan bermakna.
b.      Hukum Latihan (Law of Exercise)
Untuk menghasilkan tindakan yang cocok dan memuaskan untuk merespon suatu stimulus maka seseorang harus mengadakan percobaan dan latihan yang berulang-ulang, adapun latihan atau pengulangan perilaku yang cocok yang telah ditemukan dalam belajar, maka ini merupakan bentuk peningkatan existensi dari perilaku yang cocok tersebut semakin kuat (Law of Use). Dalam suatu teknik agar seseorang dapat mentransfer pesan yang telah ia dapat dari sort time memory ke long time memory ini dibutuhkan pengulangan sebanyak-banyaknya dengan harapan pesan yang telah didapat tidak mudah hilang dari benaknya.
c.       Hukum Akibat (Law of Effect)
Hukum akibat Thorndike mengemukakan (Dahar, 2011: 18) jika suatu tindakan diikuti oleh suatu perubahan yang memuaskan dalam lingkungan, kemungkinan tindakan itu diulangi dalam situasi yang mirip akan meningkat. Akan tetapi, bila suatu perilaku diikuti oleh suatu perubahan yang tidak memuaskan dalam lingkungan, kemungkinan perilaku itu diulangi akan menurun. Jadi konsekuensi perilaku seseorang pada suatu waktu memegang peranan penting dalam menentukan perilaku orang itu selanjutnya.
Thorndike mengungkapkan bahwa organisme itu sebagai mekanismus yang hanya bertindak jika ada perangsang dan situasi yang mempengaruhinya. Dalam dunia pendidikan Law of Effect ini terjadi pada tindakan  seseorang dalam memberikan punishment atau reward. Akan tetapi dalam dunia pendidikan menurut Thorndike yang lebih memegang peranan adalah pemberian reward dan inilah yang lebih dianjurkan. Teori Thorndike ini biasanya juga disebut  teori koneksionisme karena dalam hukum belajarnya ada “Law of Effect” yang mana di sini terjadi hubungan antara tingkah laku atau respon yang dipengaruhi oleh stimulus dan situasi dan tingkah laku tersebut mendatangkan hasilnya (effect).  
Selain hukum pokok belajar tersebut di atas, masih terdapat hukum subside atau hukum-hukum minor lainnya, yaitu :
a.      Law of Multiple Response
Supaya sesuatu respons itu memperoleh hadiah atau berhasil, maka respons itu harus terjadi. Apabila individu dihadapkan pada sesuatu soal, maka dia akan mencoba-coba berbagai cara, apabila tingkah laku yang tepat (yakni yang membawa penyelesaian atau berhasil) dilakukan maka sukses terjadi, dan proses belajar pun terjadi. Hal tersebut akan berlaku sebaliknya.
b.      Law of Attitude (Law of Set, Law of Disposition)
Respons-respons apa yang dilakukan oleh individu itu ditentukan oleh cara penyelesaian individu yang khas dalam menghadapi lingkungan kebudayaan tertentu. Sikap (attitude) tidak hanya menentukan apa yang akan dikerjakan oleh seseorang tetapi juga cara yang kiranya akan memuaskan atau tidak memuaskan baginya. Proses belajar ini dapat berlangsung bila ada kesiapan mental yang positif pada siswa
c.       Law of Partial Activity (Law of Prepotency Element)
Pelajar dapat bereaksi secara selektif terhadap kemungkinan-kemungkinan yang ada dalam situasi tertentu. Manusia dapat memilih hal-hal yang pokok dan mendasarkan tingkah lakunya kepada hal-hal yang pokok itu serta meninggalkan hal-hal yang kecil.
d.      Law of Response by Analogy (Law of Assimilation)
Orang bereaksi terhadap situasi yang baru sebagaimana dia bereaksi terhadap situasi yang mirip dengan itu yang dihadapinya diwaktu yang lalu, atau dia bereaksi terhadap hal atau unsur tertentu dalam situasi yang telah berulang kali dihadapinya. Jadi, respons-respons selalu dapat diterangkan dengan apa yang telah pernah dikenalnya, dengan kecenderungan asli yang berespons.
e.       Law of Assosiative Shifting
Bila suatu respons dapat dipertahankan berlaku dalam serangkaian perubahan -perubahan bahan dalam situasi yang merangsang, maka respons itu akhirnya dapat diberikan kepada situasi yang sama sekali baru.
4.      Prinsip-prinsip Belajar yang Dikemukakan oleh Thorndike
a.       Pada saat berhadapan dengan situasi yang baru, berbagai respon ia lakukan. Adapun respon-respon tiap-tiap individu berbeda-beda tidak sama walaupun menghadapi situasi yang sama hingga akhirnya tiap individu mendapatlan respon atau tindakan yang  cocok dan memuaskan. Seperti contoh seseorang yang sedang dihadapkan dengan problema keluarga maka seseorang pasti akan menghadapi dengan respon yang berbeda-beda walaupun jenis situasinya sama, misalnya orang tua dihadapkan dengan perilaku anak yang kurang wajar.
b.      Dalam diri setiap orang sebenarnya sudah tertanam potensi untuk mengadakan seleksi terhadap unsur-unsur yang penting dan kurang penting, hingga akhirnya menemukan respon yang tepat. Seperti orang yang dalam masa perkembangan dan menyongsong masa depan maka sebenarnya dalam diri orang tersebut sudah mengetahui unsur yang penting yang harus dilakukan demi mendapatkan hasil yang sesuai dengan yang diinginkan.
c.       Apa yang ada pada diri seseorang, baik itu berupa pengalaman, kepercayaan, sikap dan hal-hal lain yang telah ada pada dirinya turut menentukan tercapainya tujuan yang ingin dicapai.
d.      Orang cenderung memberi respon yang sama terhadap situasi yang sama. Seperti apabila seseorang dalam keadaan stress karena diputus oleh pacarnya dan ia mengalami ini bukan hanya kali ini melainkan ia pernah mengalami kejadian yang sama karena hal yang sama maka tentu ia akan merespon situasi tersebut seperti yang ia lakuan seperti dahulu ia lakukan.
e.       Orang cenderung menghubungkan respon yang ia kuasai dengan situasi tertentu tatkala menyadari bahwa respon yang ia kuasai dengan situasi tersebut mempunyai hubungan.
f.       Manakala suatu respon cocok dengan situasinya maka relatif lebih mudah untuk dipelajari.
5.      Keunggulan-keunggulan Teori Belajar Koneksionisme Thorndike
1.      Teori ini sering juga disebut dengan teori trial dan error  dalam teori ini orang bisa menguasai hubungan stimulus dan respon sebanyak-banyaknya sehingga orang akan terbiasa berpikir dan terbiasa mengembangkan pikirannya.
2.      Dengan sering melakukan pengulangan dalam memecahkan suatu permasalahan, anak didik akan memiliki sebuah pengalaman yang berharga. Selain itu dengan adanya sistem pemberian hadiah, akan membuat anak didik menjadi lebih memiliki kemauan dalam memecahkan permasalahan yang dihadapinya.
6.      Kelemahan-kelemahan Teori Belajar Koneksionisme Thorndike
1.      Terlalu memandang manusia sebagai mekanismus dan otomatisme belaka disamakan dengan hewan. Meskipun banyak tingkah laku manusia yang otomatis, tetapi tidak selalu bahwa tingkah laku manusia itu dapat dipengaruhi secara trial and error. Trial and error tidak berlaku mutlak bagi manusia. 
2.      Memandang belajar hanya merupakan asosiasi belaka antara stimulus dan respon. Sehingga yang dipentingkan dalam belajar ialah memperkuat asosiasi tersebut dengan latihan-latihan, atau ulangan-ulangan yang terus-menerus.
3.      Karena belajar berlangsung secara mekanistis, maka pengertian tidak dipandangnya sebagai suatu yang pokok dalam belajar. Mereka mengabaikan pengertian sebagai unsur yang pokok dalam belajar.
Implikasi dari teori behavioristik dalam proses pembelajaran dirasakan kurang memberikan ruang gerak yang bebas bagi pelajar untuk berkreasi, bereksperimentasi dan mengembangkan kemempuannya sendiri. Karena sistem pembelajaran tersebut bersifat otomatis-mekanis dalam menghubungkan stimulus dan respon sehingga terkesan seperti kinerja mesin atau robot. Akibatnya pelajar kurang mampu untuk berkembang sesuai dengan potensi yang ada pada diri mereka.


Aplikasi Teori Thorndike dalam pembelajaran matematika

SK : melakukan operasi hitung bilangan sampai tiga angka
KD : melakukan perkalian yang hasilnya bilangan tiga angka dan pembagian bilangan tiga angka
Proses Pembelajaran :
  1. Siswa dibagi dalam beberapa kelompok. Misalnya setiap kelompok beranggotakan 5 siswa
  2. Setiap kelompok diberi satu amplop yang berbeda warna satu kelompok dengan kelompok lainnya. Di dalam amplop tersebut terdapat soal-soal yang harus siswa kerjakan
  3. Siswa diminta untuk mengerjakan soal-soal tersebut pada kertas yang telah disediakan tanpa bertanya pada guru dan tanpa diberikan bombingan. Sehingga hasil yang diperoleh adalah kemampuan dasar siswa
  4. Siswa bersama-sama mencocokkan jawaban dari soal yang telah dikerjakan
  5. Siswa diberikan amplop ke 2 dan kali in berisi soal yang sama antara satu kelompok lainnya. Setiap selesai mengerjakan satu soal, siswa diberitahu jawabannya sampai seluruh soal selesai dikerjakan dan dicocokkan jawabannya. Hasil yang diperoleh adalah kemampuan selama latihan.
Apabila hasil belajar selama training lebih baik daripada kemampuan dasar, maka telah terjadi proses belajar. Hal ini seperti yang dilakukan Thorndike pda kucing percobaannya. Siswa diberikan beberapa soal latihan dan pada akhirnya siswa mampu mengerjakan soal latihan yang diberikan.
Selain itu, latihan selama juga disertai umpan balik. Umpan balik menginformasikan bahwa hasil perkalian yang diakukan benar atau salah. Dengan mengetahui efek dari tindakan yang dilakukan dapat mendorong perubahan tindaka.
B.     TEORI SKINNER
B. F. Skiner (1904-1990) berkebangsaan Amerika dikenal sebagai tokoh behaviorisb dengan pendekatan model instruksi langsung (direted intruction) dan meyakini bahwa perilaku dikontrol melalui proses operant condisioning. Gaya mengajar guru searah searah dan dikontrol guru melalui pengulangan (drill) dan latihan (exercise).
Manajemen kelas menurut Skinner adalah usaha untuk memodifikasi perilaku antara lain dengan proses penguatan (reinforeement) yaitu memberi penghargaan pada perilaku yang diinginkan dan tidak memberi imbalan apapun pada perilaku yang tidak tepat.
Operant Conditioning atau pengkondisian operan adalah suatu proses penguatan poerilaku operan ( penguatan positif dan negatif) yang dapat mengakibatkan perilaku tersebut dapat berulang kembali atau menghilang sesuai dengan keinginan.
      Skinner membuat eksperimen sebagai berikut: dalan laboratorium, skinner memasukkan tikus yang telah dilaparkan, dalam kotak yang disebut “ skinner box”, yang sudah dilengkapi dengan berbagai peralatan, yaitu tombol, alat pemberi makanan, penampung makanan, lampu yang dapat diatur nyalanya, dan lantai yang dapat dialiri listrik.
           Karena dorongan lapar (hungger drive), tikus berusaha keluar untuk menari makanan. Selama tikus bergerak ke sana ke  mari untuk keluar dari box, tidak sengaja ia menekan tombol, makanan keluar. Seara terjadwal diberikan makanan secara bertahap sesuai peningkatan perilaku yang ditunjukkan si tikus, proses ini disebut shaping.
           Berdasarkan berbagai perobaannya pada tikus dan burung merpati, skinner menyatakan bahwa unsur terpenting dalan belajar adalah penguatan (reinforement). Maksudnya adalah pengetahuan yang terbentuk melalui ikatan stimulus-respon akan semakin kuat bila diberi penguatan. Skinner membagi penguatan ini menjadi dua, yaitu penguatan positif dan penguatan negatif. Penguatan positif sebagai stimulus, dapat meningkatkan terjadinya pengulangan tinggkah laku itu, sedangkan penguatan negatif dapat mengakibatkan perilaku berkurang atau menghilang. Bentuk-bentuk penguatan positif adalah berupa hadiah (permen, kado, makanan, dll), perilaku (senyum, menganggukkan kepala untuk menyetujui, bertepuk tangan, mengaungkan jempol), atau penghargaan (nilai A, juara 1, dsb). Bentuk-bentuk penguatan negatif menunda atau memberi penghargaan, memberikan tugas tambahan atau menunjukkan perilaku tidak senang (menggeleng, kening berkeru, muka kecewa,dll)
      Dapat disimpulkan bahwa dari percobaannya, Skinner menghasilkan hukum-hukum belajar sebagai berikut:
1.      Law of Operant Conditioning, jika timbulnya perilaku diiringi dengan stimulus penguat, maka kekuatan perilaku tersebut akan meningkat.
2.      Law of  Operant Extintion, jika timbulnya perilaku operant yang telah diperkuat melalui proses conditioning itu tidak diiringi stimulus penguat, maka kekuatan perilaku tersebut akan menuru  bahkan akan menghilang.
Beberapa prinsip belajar skinner antara lain:
1.      Hasil belajar harus segera diberitahukan kepada siswa, jika salah dibetulkan, jika benar diberi penguat.
2.      Proses belajar harus mengikuti irama dari belajar.
3.      Materi pembelajaran menggunakan sistem modul.
4.      Dalam proses pembelajaran, lebih mengutamakan aktivitas individu.
5.      Dalam proses pembelajaran, tidak digunakan hukuman.
Skinner tidak sependapat dengan pemberian hukuman karena:
ü  Pengaruh hukuman terhadap perubahan tingkah laku bersifat sementara.
ü  Dampak psikologis yang buruk mungkin akan terkondisi menjadi bagian dari jiwa si terhukum, bila hukuman berlangsung lama.
ü  Hukuman bahkan mendorong si terhukum untuk menari ara lain agar terbebas dari hukuman walau dengan ara yang salah.
6.      Tingkah laku yang diinginkan pendidik diberi hadiah dan sebaliknya.
7.      Dalam pembelajaran digunakan shaping.
                     
Kelebihan Teori Skinner
Pada teori ini pendidik diarahkan untuk menghargai setiap murid atau anak didiknya. Hal ini ditunjukkan dengan dihilangkannya sistem hukum serta didukung dengan pembentukan lingkungan yang baik sehingga dimungkinkan akan meminimalkan terjadinya kesalahan.
Kelemahan teori skinner
1.      Tidak mampu menjelaskan situasi belajar yang kompleks sebab banyak hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan atau belajar yang dapat diubah menjadi sekedar hubungan stimulus dan respon.
2.      Tidak mampu menjelaskan penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam hubungan stimulus dan respon.
3.      Kurang dapat menjelaskan adanya variasi tingkat emosi siswa, walaupun mereka memilki pengalaman penguatan yang sama.
4.      Cenderung mengarahkan siswa untuk berpikir linier, tidak kreatif, dan tidak produktif.

Kekeliruan dalam penerapan teori Skinner antara lain: penggunaan hukuman sebagai salah satu ara untuk mendisiplinkan sendiri konsekuensi dari perbuatannya misalnya anak merasakan sendiri kesalahan dan merasakan akibat dari kesalahan. Penggunaan hukuman verbal maupun fisik seperti: kata-kata kasar, ejekan, cubitan, jeweran justru berakibat buruk pada siswa. Selain itu kesalahan dalam reinforement seperti penggunaan rangking juara.
Pengaplikasian Teori Skinner dalam Pembelajaran Matematika
Seorang siswa diberi soal matematika sederhana dan siswa dapat menyelesaikannya sendiri. Guru memuji siswa karena telah berhasil menyelesaikan soal tersebut. Dengan peristiwa ini siswa merasa yakin atas kemampuannya, sehingga timbul respon mempelajari pelajaranberikutnya yang sesuai atau lanjutan apa yang dapat dia selesaikan tadi. Selanjutnya dikatakan bahwa pada umumnya stimulus yang demikian pada umumnya mendahului respon yang ditimbulkan. Belajar dengan respondent conditioning ini hanya efektif jika suatu respon timbul karena kehadiran stimulus tertentu.
Contoh lainnya dalam matematika seorang siswa yang terbiasa melakukan perhitungan matematika berupa operasi penjumlahan, pengurangan, perkalian dan pembagian akan lebih mudah mengerjakan soal yang berhubungan dengan operasi-operasi tersebut dengan cepat dan tanpa pemikiran yang lama. 
Contoh tersebut selaras dengan pendapat Skinner, bahwa penguatan akan berbekas pada diri peserta didik. Mereka yang mendapat pujian setelah berhasil menyelesaikan tugas atau dapat menjawab pertanyaan biasanya akan berusaha memenuhi tugas berikutnya dengan penuh semangat. Penguatan yang berbentuk hadiah atau pujian akan memotivasi anak untuk rajin belajar dan untuk mempertahankan prestasi yang diraihnya.
Oleh karena penguatan akan berbekas kepada peserta didik, sedangkan hasil penguatan yang diharapkan adalah positif, maka penguatan yang diberikan harus teralamatkan pada respon anak didik yang benar. Guru hendaknya jangan memberikan penguatan atas respon peserta didik jika respon tersebut sebenarnya tidak perlu dilakukan.
C.    TEORI  DIENES
Dienes adalah seorang matematikawan yang memusatkan perhatiannya pada cara-cara pengajaran terhadap anak-anak. Dasar teorinya bertumpu pada teori Piaget, dan pengembangannya diorientasikan pada anak-anak, sehingga sistem yang dikembangkannya itu menarik bagi anak yang mempelajari matematika.
Dienes berpendapat bahwa pada dasarnya matematika dapat dianggap
sebagai pelajaran tentang struktur, klasifikasi tentang struktur,relasi-relasi
dalam struktur dan mengkategorikan hubungan-hubungan di antara struktur-
struktur. Ia meyakini bahwa setiap konsep atau prinsip dalam matematika
akan dapat dipahami secara penuh konsep tersebut,apabila disajikan dalam
bentuk kongkrit dengan berbagai macam sajian. Ini mengandung arti bahwa
benda-benda atau objek-objek dalam bentuk permainan akan sangat berperan
bila dimanipulasi dengan baik dalam pengajaran matematika.
Dienes membagi 6 tahapan secara berurutan dalam menyajikan konsep matematika, yaitu sebagai berikut.
1.      Tahap Bermain Bebas
Tahap bermain bebas merupakan tahap belajar konsep yang aktivitasnya tidak diarahkan. Pada kegiatan ini, memungkinkan anak untuk mengadakan  percobaan  dan  mengotak-atik (memanipulasi)  benda-benda kongkrit dari unsur-unsur yang sedang dipelajarinya. Pada tahap permainan bebas anak-anak berhadapan dengan unsur-unsur dalam interaksinya dengan lingkungan belajar atau alam sekitar. Dalam tahap ini juga anak tidak hanya belajar membentuk struktur mental, namun juga belajar membentuk struktur sikap dan mempersiapkan  diri  dalam pemahaman konsep.
2.      Tahap Permainan
Dalam permainan yang disertai aturan, anak-anak sudah mulai meneliti pola pola dan keteraturan yang terdapat dalam konsep tertentu. Keteraturan ini mungkin terdapat dalam konsep tertentu tetapi tidak terdapat dalam konsep yang lainnya. Anak yang telah memahami aturan-aturan yang terdapat dalam konsep akan dapat mulai melakukan permainan tadi. Jelaslah, dengan melalui permainan   anak-anak diajak untuk  mulai mengenal dan memikirkan bagaimana struktur matematika. Makin banyak bentuk-bentuk yang berlainan yang diberikan dalam konsep-konsep tertentu, maka akan semakin jelas konsep yang dipahami anak. Karena anak-anak akan memperoleh hal-hal yang bersifat logis dan matematis dalam konsep yang dipelajarinya itu.
3.      Tahap Penelaahan Kesamaan Sifat
Pada tahap ini, anak-anak mulai diarahkan dalam kegiatan menemukan sifat-sifat kesamaan dalam permainan yang sedang diikuti. Untuk melatih anak-anak dalam mencari kesamaan sifat, guru perlu mengarahkan mereka dengan mentranslasikan kesamaan struktur dari bentuk permainan yang satu ke bentuk permainan lainnya. Translasi tentu tidak boleh mengubah sifat-sifat abstrak yang ada dalam permainan semula.
4.      Tahap Representasi
Tahap representasi adalah tahap pengambilan kesamaan sifat dari beberapa  situasi  yang  sejenis.  Anak-anak  menentukan  representasi  dari konsep-konsep tertentu, setelah mereka berhasil menyimpulkan kesamaan sifat yang terdapat dalam situasi-situasi yang dihadapinya. Representasi yang diperolehnya ini bersifat abstrak. Dengan demikian anak-anak telah mengarah pada pengertian struktur matematika yang sifatnya abstrak yang terdapat dalam konsep yang sedang dipelajari.
5.      Tahap Simbolisasi
Tahap simbolisasi termasuk tahap belajar konsep, yang membutuhkan kemampuan merumuskan representasi dari setiap konsep-konsep dengan menggunakan simbol-simbol matematika atau melalui perumusan verbal.
6.      Tahap Formalisasi
Tahap formalisasi merupakan tahap belajar konsep yang terakhir. Dalam tahap ini anak-anak dituntut untuk mengurutkan sifat-sifat konsep dan kemudian merumuskan sifat-sifat baru dari konsep tersebut. Sebagai contoh, anak-anak yang telah mengenal dasar-dasar dalam struktur matematika seperti aksioma, harus mampu merumuskan teorema, dalam arti membuktikan teorema tersebut.


D.    TEORI BELAJAR DARI ROBERT M. GAGNE
Gagne menggabungkan ide-ide behaviorisme dan kognitivisme dalam pembelajaran. Menurut Gagne dalam pembelajaran terjadi proses penerimaan informasi, untuk diolah sehingga menghasilkan keluaran dalam bentuk hasil belajar. Dalam pemrosesan informasi terjadi interaksi antara kondisi internal dengan kondisi eksternal individu. Kondisi internal adalah keadaan dalam diri individu yang diperlukan untuk mencapai hasil belajar dan proses kognitif yang terjadi di dalam individu. Sedangkan kondisi eksternal adalah rangsangan dari lingkungan yang mempengaruhi individu dalam proses pembelajaran. Kondisi eksternal ini oleh Gagne disebut sebagai sembilan peristiwa pembelajaran.
Teori Robert Gagne tentang pembelajaran terdiri dari tiga prinsip, yaitu syarat-syarat pembelajaran (conditions of learning), sembilan peristiwa pembelajaran (nine events of instructions), dan taksonomi hasil belajar (taxonomy of learning outcomes). Dalam bukunya yang berjudul The Conditions of Learning (1970), Gagne mengemukakan delapan macam tipe belajar dari yang membentuk suatu hierarki belajar dari yang paling sederhana sampai dengan yang paling rumit. Kedelapan hierarki belajar ini sering diterapkan dalam pembelajaran tuntas (mastery learning) disamping taksonomi Bloom. Berkaitan dengan proses pembelajaran Gagne berpendapat bahwa tahapan proses pembelajaran meliputi delapan fase, yaitu: (a) motivasi, (b) pemahaman, (c) pemerolehan, (d) penyimpanan, (e) pengingatan kembali, (f) generalisasi, (g) perlakuan, dan (h) umpan balik.
Dalam taksonomi hasil belajar (taxonomy of learning outcomes) Gagne mengidentifikasikan adanya lima kategori belajar, seperti tercantum dalam tabel berikut.
Taksonomi Hasil Belajar
Contoh Tindakan Khusus (Specifik Operation)
Informasi Verbal
Mengungkapkan materi pembelajaran yang baru dipelajari seperti fakta-fakta, konsep, prinsip dan prosedur, misalnya menyebutkan/menuliskan gejala orang yang terserang DBD.
Keterampilan Intelektual (Diskriminasi, Konsep Konkret, Konsep Terdefinisikan, Hukum-hukum, Hukum-hukum Tingkat Tinggi)
·  Diskriminasi: membedakan objek, fitur atau simbol, misalnya mendengarkan musik yang pitchnya berbeda.
·  Konsep Konkret: mengidentifikasi kelas suatu objek, fitur atau kejadian konkret, misalnya mengambil seluruh permen berwarna hijau dari sekaleng permen.
·  Konsep Teridentifikasi: menggolongkan contoh-contoh baru dari suatu kejadian atau gagasan berdasarkan definisinya, misalnya menandai frasa si Mak (emak) dengan simak sebagai aliterasi (sama bunyinya).
·  Hukum: menggunakan suatu hubungan tunggal untuk menyelesaikan sekelompok masalah. Misalnya menggunakan hukum Newton I untuk menyelesaikan berbagai soal fisika.
·  Hukum Tingkat Tinggi: menerapkan berbagai kombinasi baru untuk menyelesaikan maslah yang kompleks. Misalnya menggunakan hukum kekekalan massa, hukum Dalton, hukum Avogadro untuk menyelesaikan soal hitungan kimia.
Strategi Kognitif
Menerapkan cara personal untuk memandu belajar, berpikir, tindakan, dan merasakan. Contoh: menyusun suatu rencana perusahaan untuk meningkatkan hubungan dengan pelanggan.
Sikap
Memilih tindakan personal yang dilandasi oleh status internal (internal state) dari pemahaman dan kemampuan merasakan, misalnya menetapkan untuk berolahraga setiap hari sebagai bagian dari usaha kesehatan preventif.
Keterampilan Motorik
Melakukan kinerja yang melibatkan aktivitas otot-otot, seperti berenang, lompat tinggi, berlari, angkat besi, dan lain-lain.
Pengembangan lima kategori utama belajar (five major categories of learning) tersebut di atas ditengarai berimplikasi terhadap hal-hal sebagai berikut:
Ø Hasil belajar yang berbeda memerlukan cara mengajar/instruksi yang berbeda pula, dengan kata lain guru harus mampu melaksanakan variasi dalam pembelajaran.
Ø Agar berlangsung peristiwa belajar, harus dihadirkan kondisi pembelajaran tertentu, atmosfer pembelajaran harus didesai sedemikian rupa sehingga timbul keberanian siswa untuk merealisasikan ide kreatifnya.
Ø Diperlukan tindakan-tindakan khusus (specifik operation) yang menyusun kegiatan pengajaran yang berbeda untuk setiap jenis hasil pembelajaran yang berbeda pula.
Implementasi Pembelajaran Matematika SD Berdasarkan Teori Gagne
Teori belajar Gagne dapat diterapkan dalam proses pembelajaran di Indonesia. Ada beberapa pendekatan dan langkah-langkah agar bisa menerapkan teori tersebut dalam proses pembelajaran.
Materi yang akan diambil adalah pembelajaran mengenai pengenalan operasi penjumlahan serta pengurangan pada siswa kelas rendah. Alat peraga berupa gambar lambang bilangan, gambar lambang operasi bilangan dan media kongkrit (misal: permen, apel, pensil, wafer).
Berdasarkan konsep Sembilan Kondisi Intruksional Gagne maka kita bisa menyusun rancangan kegiatan belajar mengajar sebagai berikut:
1)        Memberikan perhatian (gain attention). Contoh: mengajak siswa berkenalan dengan bilangan dan mengetahui lambang bilangan dengan cara memulai komunikasi dengan siswa. Guru menunjukkan alat peraga berupa gambar-gambar lambang bilangan serta media-media yang menarik agar siswa memfokuskan diri untuk memulai pelajaran.
2)        Memberitahu siswa tentang tujuan pembelajaran (inform learner of objectives), biarkan siswa mengetahui apa yang akan dipelajarinya. Contohnya: guru memberikan informasi menarik bahwa pembelajaran kali ini kita akan belajar mengenai operasi bilangan. Guru juga mengucapkan bahwa setelah pelajaran ini siswa dapat berhitung, sehingga besok bisa menghitung jumlah barang yang ia (siswa) miliki baik dari pemberian barang oleh orang lain ataupun barang yang sebelumnya sudah ia miliki.
3)        Dibangun atas pengetahuan yang telah lalu (recall prior knowledge),. Contohnya: guru menanyakan tentang nama bilangan yang guru tunjukkan. Dalam hal ini guru sudah menyiapkan media berupa gambar lambang bilangan.
4)        Menyajikan pembelajaran sebagai rangsangan (present material). Contoh: guru membagi siswa kedalam 4 kelompok. Dalam pembagian kelompok ini guru juga mengajak siswa untuk menghitung berapa jumlah teman dalam satu kelomponya. Pada tiap-tiap kelompok, guru membagikan masing-masing 10 permen. Dalam hal ini tentu siswa sudah bertanya-tanya, keadaan ini semakin dirangsang oleh guru dengan mengatakan bahwa kegiatan kali ini adalah lomba menghitung. Aturan mainnya tiap anggota kelompok bekerjasama menjawab pertanyaan guru mengenai penjumlahan dan pengurangan yang guru lakukan menggunakan media benda. Apabila kelompok tersebut salah maka kelompok tersebut wajib mensodaqohkan satu buah permennya kepada kelompok lain.
5)        Memberikan panduan belajar (provide guided learning), bantulah siswa agar dapat mengikuti pembelajaran dengan baik pada saat pembelajaran berlangsung. Contoh: dalam proses penghitungan/pemberian soal yang diberikan oleh guru, siswa satu kelompok diminta untuk menghitungnya sembari guru menunjukkan jumlah bilangan tersebut.
6)        Menampilkan kinerja (elicit performnce), mintalah para siswa mengerjakan apa-apa yang baru dipelajarinya. Contoh: guru memancing kinerja berupa mengajak berhitung siswa satu kelas tentang hasil penghitungan yang dilakukan oleh kelompok lain.
7)        Memberikan umpan balik (provide feedback), beritahu siswa kinerjanya masing-masing. Contoh: guru menanyakan kepada siswa sudah benar atau belum. Hal ini juga semakin memantapkan hasil penghitungan yang dilakukan oleh siswa.
8)        Menilai kinerja (assess performance), nilailah siswa tentang pengetahuannya mengenai topik pembelajaran. Contoh: meminta siswa menulis hasil penjumlahan yang dilakukan dalam permainan tadi menggunakan lambang bilangan yang benar.
9)        Meningkatkan retensi/ingatan dan transfer pengetahuan (enchance retention and transfer). Bantulah siswa dalam mengingat-ingat dan menerapkan keterampilan baru itu. Contoh: ajak siswa memecahkan masalah yang diceritakan oleh guru sebelum pelajaran selesai.




Komentar

Postingan Populer